Kala semua orang bilang penantian membosankan dan mennggelisakan bahkan menjengkelkan, itu memang benar. Tapi kebenaran akan tetap menjadi kebenaran. Keyakinan dalam ketulusan mesti harus tercapai walaupun mesti menjadi rasa yang sangat pahit. Lama dalam penantian, lewat SMS tak ada jawaban cintaku yang ku harap di merdekakan oleh wanita gadis pujaan yang jadi pilihan, tapi malah menjadi waktu yang mengasingkan antara emosi dan perasaan, sehingga keyakinan hidup menjadi rapuh menyandarkan asa yang tak pernah di ketahui apakah memang telah mati, dalam kenyataan ini aku tuliskan rasa bimbang yang dalam dengan susunan kata, sebagai perjalanan rasa “Hidup Tersalib Rasa Cinta”.
Apa yang harus aku lakukan.
Kala cinta menjadi tiang salib dalam hidupku.
Kaki tak dapat di langkahkan.
Tangan telentang dalam ikatan.
Pandangan hanya melotot dalam ratapan.
Suaraku pasrah pada kodrat suratan
Biarlah cinta meninggalkanku.
Menanti Menunggu.
Atau aku harus menangis.
Aku hanya terus bertanya .
Siapakah sebenarnya sang pencinta .
Bila gereja jiwa membuat aku bingung.
Dan bahkan mungkin aku harus menangis . Pujaan hati seakan mngantarkanku .
Pada asa yang menyeksaku.
Bahkan membunuh semangatku.
Haruskah keyakinan cinta.
Mesti turunkan gerimis air mata
Dalam galau penuh kerisauan, aku terkadang merasa menyesal terhadap apa yang telah aku perbuat terasa berada dalam kebodohan yang terus menyeksa. Tapi dalam kesunyean kala aku harus berpikir jernih rasa cinta yang membangun ketulusan hati tak kuasa aku ingkari sebelum aku temukan kuburan cinta entahlah diriku sendiri yang menjadi nisan dalam kehidupan.
Berjalan bersama harapan yang penuh dengan rasa setres dalam jiwa yang harus aku alami, hanya kuasa berkirim pesan lewat handpone untuk bisa berkomonikasi dengan dia gadis yang paling aku kagumi, karena pada waktu ini aku kebetulan pulang berada di tanah daerahku di pulau madu maduraku tercinta, aku hanya bisa berkirim pesan sebagai berikut, sebab aku merasa penuh kesalahan seakan aku egois, karena memang aku sudah tak bisa lagi menahan emosi yang terus memaksaku untuk memberontak dalam kearifan nurani yang sudah mengering penuh harapan cinta untuk bisa menyejukkannya.
Kuasaku, hanya bisa kirim berita cemas yang penuh harap melalui bahasa yang mati terkirim melalui layar handponku dengan bahasa berikut, ”maafkanlah semuanya yang terjadi, mungkin itu semua turun dari sikap dan pemikiran picikku yang tak mampu ku kendalikan dalam kebodohan dan ketololan, sehingga jalan yang begini mesti menjadi barisan langkah yang terbata dan mengantarkanku untuk memilihmu sebagai pilihan hati. Aku tahu hari ini tak hidup dalam akal sehatku dan aku tak mampu berbuat arif untuk membedakan egoisku dan suara hatiku, kekuatan cinta terjadi dalam hidupku bagai kemiskinan melanda dalam hidup yang harus aku jalani untuk terus memaksa melawan suratan yang seakan tercipta dalam nestapa.
Sungguh ini adalah pelajaran sekaligus yang menantangku, antara aku sebagai makhluk tuhan dan individu, yang hanya mampu berperasaan untuk merasakan nikmatnya kehidupan dan penderitaan yang telah tuhan anugrahkan. Dalam benakku hanya terus bertanya mungkinkah tuhan hendak menguji hamba seperti aku yang hanya punya kekayaan rasa untuk mencintai dengan tulus dalam keyakinan.
Terbendung semuanya dalam kantong harapan, keindahan rasa menjadi catik dalam bayangan menjadi pilihanku untuk mencintai seorang gadis yang penuh sopan santun, tak sedikitpun ada cela cinta yang tersimpan di pelupuk mataku membuat aku tak bisa melupakannya. Sungguh keyakinan ini memaksaku, aku lagi-lagi menjadi bertanya. Mungkinkah kematian seorang Al-Hallaj, menjadi jalan yang tersisa untuk aku terpuruk dalam keyakinan cinta yang tak pernah ada orang lain yang tahu, sekalipun tahu takkan pernah ada orang yang perduli. Tapi biarlah kebenaran ini mencipta legenda, atau sejarah hidupku dengan sendirinya untuk mencari kodratnya sendiri di atas alam.
Setelah aku temukan tubuhku telah lelah tanpa daya. Aku berpikir kembali tentang keyakinan diri, tentang kejujuran yang terungakap dengan semua rasa dalam perasaan, walau dalam hati masih bilang ”bahwa aku mencintainya” walau mesti masih menjadi tangis yang harus ku tangisi, karena gadis itu tetap menjadi pilihan yang masih taki dapat aku menggenggam dengan ketulusan saling mencinta. Teruslah bersama jalanan aku membawa pertanyaan yang sangat mempusingkan tak kepalang membeku diotakku. Sampainya disini aku menuliskannya kembali sebuah puisi, karena wanita ini benar-benar menjadi nafas cinta dalam hidupku.
Disini mekar bagai mawar
Terkenang senyummu yang menancap di kalbuku
Hidup bagai setangkai gubahan melati
Membawaku berhayal sepanjang hari
Bayanganmu tak kuasa ku buang di kelopak mata ini
Membawaku tak nyenyak dalam tidur
Usang dalam asa dan lamunan
Tergantung semuaku
Bagai ranting bernafas dalam cintamu
Tapi aku bukan dirimu
Dan kaupun bukan diriku
Aku hanya bisa hidup di sekeliling cintamu
Hingga ragaku membatu dalam penantian
Saat terbit mentari aku memuja
Dalam malan yang sunyi aku mendamba purnama
Tapi tak ada yang lebih semuanya
Tak aku temukan kehidupan cinta disana
Hanya dirimu yang tertulis menjadi kalimat cintaku
Hingga membuat ragaku bergerak dan bersemanmgat
Menjadi nafas cinta abadi hidupku
Bangkitkan hasrat dan jantung hati
Sungguh engkaulah yang mengajari aku
Belajar menjadi karang hati
Yang harus tertulis kalimat-kalimat ombak
Menjadi pahatan risalah cinta
Berjalan dalam keadaan penuh perasaan sangat membuat fikiran pening untuk mencari kebijakan diri. Lalu aku mengevaluasi diri dan seakan bilang pada diriku sendiri, ahwa aku kasar, dan tindakanku kejam demi ketusan dalam egoisku sendiri membawa hasrat untuk penuh ketulusan dan kejujuran dan kesetiaan yang aku yakini sebagai kebaikan. Terasa semua ini harus bagai kebaikan ynag pasti aku perjuangkan. Dalam aku hidup bagai risaunya patriotik demi menjaga martabat bangsa dan negara.
Dalam realita seperti ini, bahasa nuraniku seakan berkata. Biarlah perhargaan tak sebanding dengan penderitaan takkan pernah aku untuk mengkalkulasikan sebagai kerugian. Karena aku tetap bangga walau hanya sedetik jiwa cinta ini merdeka. Dari pada nafu egoisku menjadi tirani dalam jiwaku, hingga aku harus mati dalam bodoh dan tololnya penyesalan.
Perjalanan hampa ini, sungguh menguras air mata untuk menjadi tinta yang usil dalam lidi penaku, untuk tercatat leganda yang disucikan oleh hayalan dan renungan terus berharap dapati cinta yang di ridhoi tuhan. Memang semuanya ini adalah buah renungan, harapan, ratapan, kehampaan, kerinduan, rasa risau, gelisah yang berputar dalam roda jiwa menjadi kata yang sangat aku banggakan.
No comments:
Post a Comment