Thursday 15 July 2010

HIKMAH PERJALANAN KE KAMPUNG SANTRI LIRBOYO



Hari minggu sekitar jam 14:00 aku meluncur bersama bang Bakar menuju tanah yang berpenghuni ribuan santri. Sekitar perjalanan baru menempuh jarak 1km hujan turun dan kamipun harus mengenakan mantel. Sebelum meneruskan perjalanan, setelah selesai mantel di pasang kamipun langsung meluncur menuju tanah pesantren di kota Kediri. Di tengah perjalanan suara rintik-rintik hujan bagai stik yang mengetuk di tiap dinding mantel yang kami kenakan hingga suara hujan bagai musik di tengah perjalanan.
Tanpa terasa, karena mantel yang di kenakan ternyata tidak sampai menutupi seluruh badan, di tengah perjalanan di bagian punggung terasa mulai dingin yang sudah tersentuh oleh air hujan bahkan separuh celana yang kami pakai sedikit demi sedikit juga mulai membasah dan sepatupun yang kami pakai tanpa terasa telah berisi air. Baru kami sadari bahwa hujan yang kami lalui dalam perjalanan memang cukup deras yang menemani perjalanan kami mulai dari kota Malang sampai di perbatasan memasuki kota Kediri tepatnya di waktu kami memasuki gerbang kota Kediri itu hujan sudah mulai reda.
Sebelumnya di tengah perjalanan, kami sempat berhenti untuk menikmati istirahat agar bisa menghilangkan lelah dan rasa kedinginan. Kebetulan di pinggir jalan sebelum mamasuki kota Kediri kami menjumpai masjid yang kami lupa namanya disanalah kami beristirahat sambil mencuci muka, sebenarnya kami punya niatan sholat ashar tapi berhubung pakaian yang kami kenakan basah akhirnya kami memutuskan untuk di jama’ ta’khir sesampainya di tanah Lirboyo.
Tak lama kemudian setelah istirahat kami rasakan cukup kami melanjutkan perjalanan, setelah lepas sekitar +5 km dari tempat kami beristirahat di sisi kiri jalan ada warung mie ayam dan bakso kamipun memutuskan untuk membeli bakso dulu sebelum melanjutkan perjalanan agar bisa memulihkan tenaga. Berhubung kami melihat warung bakso itu telah terlewati beberapa meter terpaksa kami harus belok memutar arah lagi, dan disaat memutar arah itulah sedikit terpeleset untungnya kami tidak apa-apa cuma motor yang kami kendarai sempat berbaring sesaat dan bergegas langsung kami berdirikan lagi kemudian dibelok dan dihidupakan terus berangkat tepat di depan warung bakso kami berhenti untuk membeli bakso.
Sehabis bakso yang kami nikmati, kami melanjutkan perjalanan lagi dalam suasana yang berbeda, hujan hanya tinggal rintik-rintik gerimis saja. Sekitar baru lima meter beranjak dari tempat kami mebeli bakso langsung memasuki kota Kediri. Tapi keadaan sudah bisa dirasakan agak tidak enak disamping pakaian telah basah badan juga sudah terasa lelah dan suasanapun seakan kurang mendukung karena agak gelap sebab matahari masih tertutup mendung. Numun dibalik itu seakan ada angin segar dalam perjalanan bahwa tak lama lagi untuk sampai di halaman pesantren yang bertembok tebu-tebu berderet di sepanjang jalan. Sekitar jam 16:30 kamipun sampai di halaman Lirboyo, setelah istirahat sejenak lalu berkenalan dengan beberapa santri yang masih temannya teman saya ketika mondok dan kemudian di pinjamin pakain lalu kami mandi terus sholat, tak lama kemudian manghribpun tiba sebagai hari pertama saya mendengar suara adzan di kampung santri pesantren Lirboyo.
Setelah suasana manghrib telah berlalu temen saya suwan ke kyai dan saya tetap di ruang pondok sambil melanjutkan ngobrol sama seorang santri yang sudah sekitar 20 tahun menjadi santri di Lirboyo ini, kemudian banyak bercerita tentang pengalaman bahwa pernah menempuh jalan kaki ke asta Batu Ampar yang ada di pamekasan Madura. Secara tidak langsung selama menempuh perjalanan nadzar ini ialah untuk membuktikan adanya konsep barokah, sebab dia bercerita sebelum menempuh nadzarnya itu dia pamit ke pengasuhnya dan di izinkan dengan hanya membawa bekal uang 7000 rupiah dengan aturan tidak boleh naik kendaraan, berhubung untuk sampai ke pulau Madura harus nyebrang sesampainya di Kamal dia naik perahu. Singkatnya selama kurang lebih satu minggu dengan uang yang terbatas dia bercerita tidak pernah kekurangan makanan selalu ada saja yang ngasik paparnya. Saya sempat berpikir dalam hal ini, bahwa jarang akan terjadi terhadap orang-orang yang di luar lingkungan pesantren.
Berhubung waktu telah memasuki waktunya sholat isya’ kami ngobrol dicukupkan hanya demikian. Tak lama kemudian kami menjumpai hal sebagaimana yang di sampaikan oleh Mustafa Bisri tentang santri-santri anyar yang “menghafal I’lal”, di setiap kami jumpai dari para santri lengkap dengan kitab yang diletakkan tepat di depan dadanya. Sungguh ini suatu pemandangan yang sangat indah dan juga asing buat saya secara pribadi. Dan hal ini sempat membuat saya berpikir bahwa ilmu adalah milik semua orang yang mau belajar yang berbeda dengan dunia Universitas kalau pengetahuan seakan milik orang-orang yang ber-uang di antara sekian ribu impian dan cita-cita tak bisa sampai untuk meraihnya.
Sungguh indah kebersamaan di dunia pesantren, perbedaan seakan hilang menjadi satu rumpun dalam kekeluargaan. Setiap kumunitas-komunitas kecil terhimpun dalam satu halaqah pengajian yang mengajarkan kesederajatan di balik makna kitab-kitab tua yang telah menjadi ruh penyambung hikmah dalam nafas pesantren sepanjang masa. Menyaksikan suasana yang demikian sungguh secara pribadi merasa terharu berada dalam lingkungan di tengah ributnya para santri merebut posisi tempat mengaji.
Kira-kira pengajian santri telah berlangsung temen saya datang yang suwan ke kyai, kemudian mengajak jalan-jalan ke bazar yang di gelar dalam rangka satu abad beridirnya Lirboyo. Berhubung dalam perjalanan menuju bazar sepatu saya dalam keadaan basah akhirnya berjalan ke area bazar gak pakek sandal (nyeker). Sesampainya di tengah deretan bangunan tempat mondok para santri, saya sempat berpikir seumur-umur baru pertama kali menginjakkan kaki di tanah Lirboyo dan itupun yang paling berkesan bagi saya seakan wajib bagi tidak menggunakan alas kaki (selintas terbesit dalam hati kejadian itu bagai keajaiban).
Tiap melewati blok-blok asrama para santri saya di kasik tahu sama temen saya tentang asrama yang pernah di tempati seperti Mustafa Bisri, Said Agiel dan sebagainya. Seterusnya saya juga di tunjukkan pada tempat-tempat yang di angkat oleh Mustafa Bisri yang menjadi puisi yang khas pencitraan Lirboyo, tentang lampu yang kini telah berganti petromak dan semacamnya. Dan yang paling membuat saya merasa terkesan ketika melewati deretan panjang tempat suci yang disediakan untuk tapak kaki, sungguh hal itu merupakan sesuatu yang teramat antiq buat saya. Karena batu-batu itu bisa dimaknai telah mampu mendorong terjaganya kesucian di kalangan para santri. Mungkin jika kita tidak menyadari secara maknawi hal itu sesuatu yang remeh tapi secara pribadi hal itu bisa membawa hikmah yang luar bisa dengan seizin Allah di tempat itu yang mendapat petunjuk hidayah.
Logikanya demikian jika santri telah terbiasa suci dengan sesuatu yang diluar dirinya bukan tidak mungkin dia juga mampu mensucikan raga dan batinnya. Hal yang seperti ini yang jarang di budayakan di tempat-tempat di luar lingkungan pesantren. Pada hal, ini sesuatu yang sangat dasar untuk bisa membedakan antara suci dan kotor. Pembiasaan itu telah mampu menciptakan terhadap karakteristik dalam mengasumsikan suatu tempat atau barang terhadap jaminan kesucian dan kenajisannya.
Berkisar sepuluh menit tanpa terasa kami berdua telah berada di area bazar yang berisi aneka ragam orang berjualan dan tempat bermain anak-anak. Di tempat ini akhirnya saya juga membeli sepatu berhubung memang merupakan kebutuhan di sisi lain karena saya memang tidak memakai alas kaki, setelah di beli langsung saya pakai sampai selesai mengelilingi bazar tempat berjualan buku-buku yang masih sedikit yang telah datang, mungkin karena acaranya masih dua atau tiga hari lagi.
Sehabis itu kami menuju pulang ke tempat temannya teman saya untuk menginap. Sesampainya di dalam area pondok saya melepas lagi sepatu yang saya kenakan kemudian saya membasuh kaki terus saya menikmati menapakkan telapak kaki di atas batu-batu suci, hitung-hitung menikmati kebiasaan para santri. Ternyata pengalaman itu menjadi keunikan tersendiri yang dapat saya rasakan di tengah percakapan dengan temen saya yang sesekali menjelaskan “dhalem” masing-masing para pengasuh pondok pesantren Lirboyo. Selintas tiba-tiba saya berpikir dalam hati lagi seraya berdoa “semoga Allah juga memberikan hidayah kepada kami sebagaimana para beliau-beliau yang telah mampu menjadi hamba-Mu ya Allah sehingga mereka mempunyai kemampuan dalam mencapai kemulyaan seperti yang Engkau janjikan dalam kandungan Al-qur-an”.
Menikmati suasana di lingkungan pesantren Lirboyo seakan mencipta keindahan tersendiri, dan yang lebih membuat saya berpikir ketika di tunjukkan oleh temen saya pada pintu gerbang utama yang diabadikan ditengah bangunan yang saat ini katanya berubah total. Menyaksikan gerbang yang diabadikan tersebut seakan memaksa saya mencoba menerka betapa sederhananya bangunan pada saat ini yang sekarang telah menjadi istana pesantren, dalam hal ini juga terlintas betapa tingginya semangat para pengasuh sehingga saat semuanya bisa kelihatan menjadi megah. Sungguh gerbang itu menjadi estetika yang luar biasa yang menyimpan berjuta makna sebagai saksi bisu yang dapat menjelaskan bahwa Lirboyo pada asal mulanya memang seperti yang terlihat dalam gerbang itu sendiri.
Seusai mengamati berbagai munomen sejarah Lirboyo masa lampau saya melihat ada satu pohon yang lumayan besar yang masih berdiri tegak di tengah-tengah bangunan pondok para sanatri, dalam benak pikiran saya pohon itu merupakan sebuah simbol sebagaimana yang sering di contohkan ada pohon ilmu pengetahuan dan juga pohon keimanan. Tapi ini bukan berarti mempercayai pohon itu punya kekuatan lho…, hanya saja sebuah gambaran bahwa kesatuan yang kuat seperti berdirinya pohon yang kuat dengan akar yang kokoh, batang yang lurus, cabang, ranting dan daun-daun yang mengimbangi keutuhan pohon itu sendiri, itu sebuah kesatuan yang sempurna dimana akar menyerap sari-sari bumi dan ranting-rantingnya menghasilkan buah, sementara dedaunanannya melindungi semuanya.
Tanpa disadari tiba-tiba kami telah berada di depan pondok yang jadi tempat kami menginap pada malam itu, lalu kami masuk dan beristirahat sejenak kemudian mencari makan, setelah selesai makan terus langsung pulang ke tempat yang tadi itu. Berhubung jarum jam mungkin telah mengarah ke angka 22:00 kami langsung membaringkan badan untuk tidur, tetapi sebelum tertidur tiba-tiba teringat kalau malam itu adalah malam final piala dunia akhirnya tak luma saya mengaktifkan alarm Hand Phone tepat pada jam 1:30 agar bisa menyaksikan laga Spanyol VS Belanda demikian pikir saya.
Ternyata amat luar biasa alarm itu sangat amanah dan tepat waktu membangunkan saya dari tidur untuk menyaksikan malam puncak piala dunia, yang katanya temen-temen di Lirboyo adalah acara akbar dunia sepak bola 2010. Sehabis itu saya langsung bergegas cuci muka ke kamar mandi dan langsung beranjak menuju halaman layar lebar yang di gelar oleh para santri. Setelah sampai di depan halam layar lebar mata saya langsung menyaksikan dua kesebalasan Spanyol dan Belanda yang sedang menyanyikan lagu kebangsaan masing-masing, dan sayapun langsung mencari tempat duduk yang nyaman.
Setelah pertandingan di mulai sudah semakin tanpak mana pendukung Spanyol dan pendukung Belanda sebagaimana nobar di tempat-tempat lain. Artinya kebanggaan terhadap team yang didukung tak ada perbedaan antara santri dan bukan santri, hanya saja perbedaannya kalau nonton di luar lingkungan pesantren seringkali terdengar kata-kata seperti “hancrit ataupun kalimat asuh..!”, disinilah letak perbedaannya yang sangat menonjol bahwa di lingkungan pesantren itu ternyata berpengaruh terhadap identitas tiap-tiap pribadi dengan nilai kesantriannya.
Sepanjang pertandingan berlangsung tak ada perbedaan dengan di tempat-tempat lain bahwa penonton juga tak kalah seru dengan tingginya tensi pertandingan melalui suara saling mendukung menjadikan suasana menjadi ramai, tetapi dengan suasana damai. Sampai pertandingan usaipun suasana tetap berjalan damai tanpa ada ejek-mengejek yang sampai melibatkan ketegangan emosi dalam hasil akhir sepak bola akbar dan Spanyol keluar sebagai juara dunia. Usainya pertandingan ternyata jam sudah menunjukkan sekitar +4:00 sayapun gak tidar lagi menunngu mendengar adzan subuh sebagai epilog yang mendengar pertama kali adzan mangrib di tanah Lirboyo tersebut.
Adzan selesai saya langsung sholat karena punya rencana balik pagi-pagi agar sampainya di Malang tidak terlambat datang di tempat kerja. Sekitar jam 5:30 saya mengajak teman untuk berangkat pulang karena dia juga telah siap-siap rupanya, tak lama kemudian langsung meluncur menuju kota Malang di cela-cela cahaya matahari yang masih memerah di ufuk timur. Sungguh itu perjalanan menuju kembali ke kota malang yang menyenangkan, meski saya sempat sedikit tertidur di atas motor, untungnya tak apa-apa gak sampai terjatuh. Sesampainya di daerah pegunungan suasana dingin masih terasa mencekam yang berdinding di balik kabut-kabut tipis yang menyapa di sepanjang perjalanan pulang ke kota Malang.
Ending kisah perjalanan ini sekitar jam 8:15 kami berdua nyampek di kota malang dalam keadaan selamat. Kemudian saya langsung ganti baju sehabis itu berangkat ke tempat kerja, sebenarnya sih dalam keadaan lelah dan payah tapi itu adalah kewajiban apapun konsekwensinya ya tetap harus datang. Berhubung teramat ngantuk sebelum jam kerja habis saya akhirnya pamitan pulang, sesampainya di kontraan langsung merebahkan badan tanpa saya sadari mungkin saat itu saya telah berada dalam keadaan tertidur.
Tapi ternyata perjalanan itu sungguh banyak hikmahnya, yang rasanya ada pelajaran yang sangat bermakna dalam dunia pesantren. Ada nilai sejarah yang menjadi motivasi, meski di Lirboyo sana saya hanya bisa sepintas mengamati terhadap aneka ragam sejarah yang telah terjadi dan juga terhadap budaya yang menjadi tolak ukur etika para santri. Semoga saja dunia pesantren di Indonesia ini tetap mampu menjadi sendi-sendi peradaban sepanjang zaman. Amien……